I.
ANALISIS TRANSAKSIONAL BERNE
A.
Konsep Dasar
ERIC
BERNE (1910-1970) kelahiran Montreal, Canada, adalah pelopor Analisis
Transaksional (AT). Ia mulai mengembangkan AT ini sebagai terapi ketika ia
bertugas dalam Dinas Militer Amerika Serikat dan diminta untuk membuka program
terapi kelompok bagi para serdadu yang mendapat gangguan emosional sebagai
akibat Perang Dunia ke-2.
Berne, pada mulanya
adalah seorang pengikut Freud dan melakukan praktik Psikoanalisis dalam terapi.
Sebab, saat itu psikoanalisis tengah mendapat perhatian yang luar biasa. Bahkan
Berne sendiri pernah mendapat kuliah psikoanalisis di Yale Psychiatric Clinic (1936-1938)
dan NewYork Psichoanalitical Institute (1941-1943).
Analisis
transaksional berevolusi dari ketidakpuasan Berne dengan lambatnya
psikoanalisis dalam menyembuhkan orang-orang dari masalah mereka. Setelah Berne
berhenti bekerja pada Dinas Militer, Berne mulai melakukan eksperimen yang
sungguh-sungguh. Akhirnya pada pertengahan tahun 50-an barulah ia
memperkenalkan teorinya, Analisis Transaksional. Diluar dugaan, teori ini
mendapat sambutan baik dari kalangan ahli terapi kelompok, dalam pertemuan
Regional Perhimpunan Terapi Kelompok Amerika di Los Angeles tahun 1957 teori
ini diangkat sebagai salah satu tema yang dibahas. Tentu saja AT mulai
mengundang ingin tahu banyak orang dengan prinsip-prinsip yang dikembangkannya.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis
transaksional adalah upaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi
atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran logis, rasional, tujuan-tujan yang
realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan
dengan orang lain. Pendekatan
ini dikembangkan dari teori kepribadian oleh Dr. Eric Berne.
Inti dari teori bahwa apa yang disebut dengan Ego State (Status Ego) merupakan
sumber-sumber dari tingkah laku seseorang yang merupakan proses dari bagaimana
seseorang melihat realitas dan bagaimana mereka itu mengolah berbagai informasi
serta bereaksi dengan dunia pada umumnya. Status ego yang ada pada diri
seseorang itu terbentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh
seseorang yang masih membekas pada dirinya sejak masa kecil.
Pandangan
Analisis Transaksional tentang Kepribadian
Pendekatan analisis
transaksional berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan
analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi
analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, dewasa,
anak. Sifat kontraktual proses terapeutik analisis transaksional cenderung
mempersamakan kedudukan konselor dan klien. Adalah menjadi tanggung jawab klien
untuk menentukan apa yang akan diubahnya.
Pada dasarnya,
analisis transaksional berasumsi bahwa manusia itu:
1.
Manusia memiliki pilihan-pilihan dan
tidak dibelenggu oleh masa lampaunya (Manusia selalu berubah dan bebas untuk
menentukan pilihanya). Ada tiga hal yang membuat manusia selalu berubah, yaitu
:
� Manusia
(klien) adalah orang yang “telah cukup lama menderita”, karena itu mereka ingin
bahagia dan mereka berusaha melakukan perubahan.
� Adanya
kebosanan, kejenuhan atau putus asa. Manusia tidak puas dengan kehidupan yang
monoton, kendatipun tidak menderita bahkan berkecukupan. Keadaan yang monoton
akan melahirkan perasaan jenuh atau bosan, karena itu individu terdorong dan
berupaya untuk melakukan perubahan.
� Manusia
bisa berubah karena adanya penemuan tiba-tiba. Hal ini merupakan hasil AT yang
dapat diamati. Banyak orang yang pada mulanya tidak mau atau tidak tahu dengan
perubahan, tetapi dengan adanya informasi, cerita, atau pengetahuan baru yang
membuka cakrawala barunya, maka ia menjadi bersemangat untuk menyelidiki terus
dan berupaya melakukan perubahan.
� Manusia
sanggup melampaui pengondisian dan pemprograman awal (manusia dapat berubah
asalkan ia mau). Perubahan manusia itu adalah persoalan di sini dan sekarang (here
and now). Berbeda dengan psikoanalisis, yang cenderung deterministik, di
mana sesuatu yang terjadi pada manusia sekarang ditilik dari masa lalunya. Bagi
AT, manusia sekarang memiliki kehendak, karena itu perilaku manusia sekarang
adalah persoalan sekarang dan di sini. Kendatipun ada hubungannya dengan masa
lalu, tapi bukan seluruhnya perilaku hari ini ditentukan oleh pengalaman masa
lalunya.
� Manusia
bisa belajar mempercayai dirinya dirinya sendiri, berpikir dan memutuskan untuk
dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-persaannya.
2.
Manusia sanggup untuk tampil di luar
pola-pola kebisaaan dan menyeleksi tujuan-tujuan dan tingkah laku baru.
3.
Manusia bertingkah laku dipengaruhi
oleh pengharapan dan tuntutan dari orang-orang lain.
4.
Manusia dilahirkan bebas, tetapi salah
satu yang pertama dipelajari adalah berbuat sebagaimana yang diperintahkan.
Analisis Transaksional didasarkan pada
asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa
lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan
kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam
pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan,
dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
B.
Unsur-unsur
Terapi
2. Tujuan Terapis
Tujuan utama dari AT adalah membantu klien
dalam membuat keputusan-keputusan baru yang berhubungan tingkah lakunya saat
ini dan arah hidupnya. Sedangkan sasarnya adalah mendorong klien agar
menyadari, bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh ketusan
awal mengenai posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup yang
stagnan dan deterministik. Menurut Berne (1964) dalam Corey (1988) bahwa tujuan
dari AT adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga
karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Penekanan terapi adalah menggantikan gaya
hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario
hidup yang menyalahkan diri dan gaya hidup otonom ditandai dengan kesadaran
spontanitas dan keakraban. Menurut Haris (19967) yang dikutip dalam Corey
(1988) tujuan pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan
metode treatment adalah membebaskan ego Orang Dewasa sehingga bisa mengalami
kebebasan memilih dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh masa lampau
yang membatasi. Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan kepada klien
dasar-dasar ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Para klien dalam
setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari dan menjabarkan ketiga ego
selama ego-ego tersebut muncul dalam transaksi-transaksi kelompok.
3. Peran Terapis
Harris (1967) yang dikutip dalam Corey
(1988) memberikan gambaran peran terapis, seperti seorang guru, pelatih atau
nara sumber dengan penekanan kuat pada keterlibatan. Sebagai guru, terapis
menerangkan konsep-konsep seperti analisis struktural, analisis transaksional,
analisis skenario, dan analisis permainan. Selanjutnya menurut Corey (1988),
peran terapis yaitu membantu klien untuk membantu klien menemukan suasana masa
lampau yang merugikan dan menyebabkan klien membuat keputusan-keputusan awal
tertentu, mengindentifikasikan rencana hidup dan mengembangkan
strategi-strategi yang telah digunakannya dalam menghadapi orang lain yang
sekarang mungkin akan dipertimbangkannya. Terapis membantu klien memperoleh
kesadaran yang lebih realistis dan mencari alternatif-alternatif untu menjalani
kehidupan yang lebih otonom.
Terapis memerlukan hubungan yang setaraf
dengan klien, menunjuk kepada kontrak terapi, sebagai bukti bahwa terapis dan
klien sebagai pasangan dalam proses terapi. Tugas terapi adalah, menggunakan
pengetahuannya untuk mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak
spesifik yang jelas diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan mengajari
klien agar lebih mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang ego Orang
Dewasa konselor dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta untuk membuat
keputusan-keputusan baru.
C. Teknik Terapi Analisis Transaksional
Dalam
AT konseling diarahkan kepada bagaimana klien bertransaksi dengan
lingkungannya. Karena itu, dalam melakukan konseling ini, terapist memfokuskan
perhatian terhadap apa yang dikatakan klien kepada orang lain dan apa yang
dikatakan orang lain kepada klien. Untuk itu, teknik yang sering digunakan
dalam AT diantaranya adalah analisis struktur, analisis transaksional, analisis
skript, dan analisis mainan.
Analisis Struktur
Analisis
struktur maksudnya adalah analisis terhadap status ego yang menjadi dasar
struktur kepribadian klien. Analis hendaknya bisa mengenal
1)
apakah klien menggunakan ego state tertentu,
2)
apakah ego state klien, normal, terkontaminasi atau eksklusif, dan
3)
bagaimanakah energi egogram klien tersebut. Dengan mengetahui struktur ego
state klien, akan diketahui masalah yang dihadapi klien. Bila klien dominan
menggunakan ego state A masalah yang dihadapinya kurngnya rasa pecaya diri atau
dipandang rendah o rang lain. Bila O yang domninan maka klien tengah ditakuti,
dijauhi, disishkan atau diasingkan orang lain.
Analisis Transaksional
Transaksi antara konselor – klien pada
hakekatnya adalah tranasksi antar status ego keduanya. Konselor menganalisa
status ego yang terlihat dari respons atau stimulus klien. Dengan orang lain
Baik dari kata-kata yang diungkapkan klien, maupun dengan bahasa non verbal.
Data atau informasi yang diperoleh dari transaksi dijadikan konselor untuk
bahan analisis atau problem yang dihadapi klien.
Analisis Mainan
Analisis
mainan adalah analisis hubungan transaksi yang terselubung antara Klien dengan
konselor atau dengan Lingkungannya. Mungkin Klien dalam transaksinya sering
mengumpulkan “kupon emas atau kupon Coklat” (perasaan menang atau perasaan
kalah). Bila klien dalam games sering berperan sebagai pemenang, maka ada
kemungkinan ia menjadi amat takut sewaktu-waktu akan menerima kopon cokelat
yang banyak.
Analisis Skrip
Analisis
Skript ini merupakan usaha terapist yang terakhir, dan diperlukan mengenal
proses terbentuknya skript yang dimiliki klien. Analisis skript ini hendaknya
sampai menyelidiki transaksi seseorang sejak masa kecil dan standar sukses yang
telah ditanamkan orang tuanya. Disamping keempat macam teknik yang
digunakan di atas, treatment dari AT sering pula menggunakan teknik khusus,
seperti: Interogasi, Spesifikasi, Konfrontasi, Eksplanasi, Ilustrasi,
Konformasi, Interpretasi, Kristalisasi.
II.
Rational Emotive Therapy
Konsep dasar pandangan
Rational emotive therapy tentang kepribadian
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya
adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional.
Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan
kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi
tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh
evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.
Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir
yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam
berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional ini diawali dengan
belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya
tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang
digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan
kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran
negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional
dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara
verbalisasi yang rasional.
B. Unsur - Unsur Terapi
Munculnya Gangguan
Tujuan Terapi
Adapun tujuan utama Rational Emotive Therapy
ini adalah menghilangkan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, dan ketidakyakinan
diri. Dan untuk mencapai perilaku yang rasional, kebahagiaan, dan aktualisasi
diri (Mappiare, 2010). Dalam konseling rational emotive, seorang konselor harus
menempatkan dirinya sebagai seorang pribadi yang lebih aktif untuk menelusuri
masalah yang dihadapi seorang klien.
Peran Terapis
Rational Emotive Therapy ini adalah
mengajak dan membuka ketidaklogisan pola berfikir klien dan membantu klien
mengubah pikirannya yang irasional dengan mendiskusikannya secara terbuka dan
terus terang.
C. Teknik Rational Emotive Therapy
1). Teknik Pengajaran
Dalam konseling rasional emotif konselor
mengambil peranan lebih aktif dari klien. Maka dari itu teknik pengajaran
disini memberikan keleluasaan kepada konselor untuk berbicaara serta
menunjukkan sesuatau kepada klien, teruatama menunjukkan bagaimana
ketidaklogisan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosional
kepada klien.
2).
Teknik Konfrontasi
Dalam teknik konfrontasi ini, konselor
menyerang ketidaklogisan berfikir klien dan membawa klien kearah berfikir logis
empiris.
3). Teknik Persuasif
Teknik persuasif, yaitu meyakinkan klien
untuk mengubah pandangannya, karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak
benar. Konselor langsung mencoba meyakinkan dan mengemukakan berbagai
argumentasi untuk memunjukkan apa yang diannggap oleh klien benar tidak bisa
diterima atau tidak benar.
4).
Pemberian Tugas
Dalam teknik ini konseor menugaskan klien
untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Teknik ini bisa
dilakukan dengan menugaskan kepada klien untuk bergaul kepada anggota
masyarakat kalau mereka merasa dikucilkan dalam pergaulan, membaca buku untuk
memperbaiki kekeliruan cara berfikirnya.
III. Terapi Perilaku ( Behavioral Therapy )
Konsep Dasar terapi Perilaku Behavioral
terapi tentang kepribadian
Dalam pandangan tentang hakekat manusia,
terapi behavior menganggap bahwa pada dasarnya manusia bersifat mekanistik dan
hidup dalam alam yang deterministik, dengan sedikit peran aktif untuk memilih
martabatnya. Perilaku manusia adalah hasil respon terhadap lingkungan dengan
kontrol yang terbatas dan melalui interaksi ini kemudian berkembang pola-pola
perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Dalam konsep behavior, perilaku
manusia merupakan hasil dari proses belajar, sehingga dapat diubah dengan
memanipulasi kondisi-kondisi belajar.
Dengan demikian, terapi behavior hakekatnya
merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan teknik belajar secara sistematis dalam
usaha menyembuhkan gangguan tingkah laku. Asumsinya bahwa gangguan tingkah laku
itu diperoleh melalui hasil belajar yang keliru dan karenanya harus diubah
melalui proses belajar, sehingga dapat lebih sesuai.
a). Unsur - Unsur
Terapi
1)
Munculnya Gangguan
2)
Tujuan Terapi
Tujuan utamanya menghilangkan tingkah laku
yang salah dan mengantikannya dengan dengan tingkah laku yang baru yang lebih
sesuai. Secara rinci tujuan tersebut adalah untuk :
1.
Menghapus pola-pola
perilaku maladaptive anak dan membantu mereka mempelajari pola-pola tingkah
laku yang lebih kontruksif
2.
Mengubah tingkah laku
maladaptive anak
3.
Menciptakan
kondisi-kondisi yang baru yang memungkinkan terjadi proses belajar ulang.
3). Peran terapis
Dalam pendekatan behavior telah menempatkan
pentingnya fungsi dan peranan konselor atau terapis sebagai pengajar. Secara
aktif, direktif dan kreatif konselor atau terapis diharapkan mampu menerapkan
pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya guna mengajarkan
keterampilan-keterampilan baru sesuai permasalahan klien dan tujuan yang
diinginkan. Fungsi lain yang juga harus ditegakkan oleh konselor atau terapis
selama proses konseling atau terapis adalah melaksanakan assesmen dan penilaian
secara terus menerus, menetapkan sasaran perubahan perilaku dan bagaimana
mengajarkan untuk mencapainya, peka terhadap perubahan-perubahan yang terjad,
serta membantu mengembangkan tujuan-tujuan pribadi dan sosialnya.
C. Teknik Terapi
1.
Desentisisasi
sistematis, yaitu suatu cara yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang
diperbuat secara negatif dengan menyertakan pemunculan tingkah laku yang
berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Salah satu caranya
adalah dengan melatih anak untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai
dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan.
2.
Latihan asertif, yaitu
latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan
kecemasan, dengan cara mempertahankan hak dan harga dirinya. Dalam pelaksanan
teknik ini, penting bagi konselor atau terapis untuk melayih keberanian anank
untuk berkata atau menyatakan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya secara
tegas. Caranya dapat melalui bermain peran. Misalnya anak diminta untuk
berperan sebagai orang tua yang galak dan konselor atau terapis sebagai anak
yang pendiam. Kemudian peran tersebut dipertukarkan.
3.
Terapi aversi, yaitu
digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk atau menghukum perilaku yang
negatif dan memperkuat perilaku yang positif, dengan meningkatkan kepekaan
klien agar mengganti respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan
stimulus tersebut. Misalnya, anak yang suka mabuk, maka minumannya dicampur
dengan obat tertentu yang dapat menjadikan pusing atau muntah
4.
Penghentian pikiran,
teknik ini efektif digunakan untuk klien yang sangat cemas. Caranya, misalnya
klien ditutup matanya sambil membayangkan dan mengatakan sesuatu yang menganggu
dirinya.
5.
Kontrol diri,
dilakukan untuk meningkatkan perhatian pada anak tugas-tugas tertentu, melalui prosedur
self assessment, mencatat diri sendiri, menentukan tindakan diri sendiri dan
menyusun dorongan diri sendiri
6.
Pekerjaan rumah, yaitu
dengan memberikan tugas atau pekerjaan rumah kepada klien yang kurang mampu
menyesuaikan diri dengan situasi tertentu. Misalnya, kepada klien yang suka
melawan ketika dimarahi orang tua, maka diberi tugas selama satu minggu untuk
tidak menjawab ketika sedang dimarahi, kemudian hasilnya dievaluasi dan secara
berangsur ditingkatkan.
Nama : Rahayu Wulandari Angsar
NPM : 15511764
Kelas : 3PA11
SUMBER :
Andi Mappiare AT. (2010). Pengantar
Konseling dan Psikoterapi Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
W.S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti.
(2004) Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: Media Abadi
Gerald Corey. (2010). Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika
Aditama.
Gerald Corey. (1997). Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco
Naisaban, Ladidlaus.
(____). Para psikolog Terkemuka Dunia. Grasindo: Jakarta.
http://cancer55.wordpress.com/2011/06/24/pendekatan-dalam-komunikasi-konseling/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar