Di dalam persaingan seperti sekarang, kebutuhan akan tenaga
kerja yang memiliki profesionalisme yang berbasis kemampuan. Terlebih di
dunia kerja sekarang banyak dipengaruhi perubahan pasar, ekonomi dan teknologi.
Tenaga kerja yang memiliki kecerdasan
emosional (Emotional Quatient) sangat mendukung pemenuhan kebutuhan
tersebut disamping kecerdasan intelektual. Berdasar hasil survey Nasional
Assosiation of Colleges and Employers USA (2002) terhadap 457 pimpinan
perusahaan menyatakan bahwa Indeks Kumulatif Prestasi (IPK) bukanlah hal yang
dianggap penting dalam dunia kerja. Yang jauh lebih penting adalah sotfskill
antara lain kemampuan komunikasi, kejujuran, kerjasama, motivasi, kemampuan
beradaptasi dan kemampuan interpersonal dengan orientasi nilai pada kinerja
yang efektif.
Kemampuan softskill diatas dapat didefinisi, yaitu Kemampuan yang dapat mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, Kemampuan memotivasi diri, Kemampuan mengendalikan diri/ mengelola emosi pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman). Ada lima kecedasan emosial yang dibutuhkan didunia kerja sekarang ini, yaitu :
Kemampuan softskill diatas dapat didefinisi, yaitu Kemampuan yang dapat mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, Kemampuan memotivasi diri, Kemampuan mengendalikan diri/ mengelola emosi pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman). Ada lima kecedasan emosial yang dibutuhkan didunia kerja sekarang ini, yaitu :
Kesadaran Emosional , yang meliputi kedewasaan emosi dalam
pengambilan keputusan yang win-win solution.
Pengelolaan Emosional (pengedalian diri) yang meliputi kemampuan
kepekaan, sabar dan tabah dalam menjalankan tugas.
Motiovasi Diri, yang meliputi kemampuan berpikir positif,
ulet dan pantang menyerah
Empati pada Sesama ; yang meliputi kemampuan memahami,
merasakan, peduli, hangat, akrab dan kekeluargaan
Ketrampilan Sosial , yang meliputi kemampuan bermusyawarah,
bekerjasama, kepentingan umum/tim)
Di sisi lain secara teori, di dalam dunia kerja, ada 3 unsur
utama yang harus dipenuhi agar seseorang dikatakan memiliki kompetensi
yang meliputi kompetensi knowledge atau cognitive domain, skill atau
psychomotor domain, serta attitude atau affective domain. (Jayagopan Ramasamy,
Malaysia 2006). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa kompetensi tersebut harus
bisa diukur (measurable), dinilai, ditunjukkan (demonstrable) dan diamati
(observable) melalui perilaku pada saat melaksanakan tugas. Sasaran akhir dari
kompetensi adalah perilaku yang diharapkan (desired behaviour) dan perlu
ditunjukkan dalam melaksanakan tugas. Kompetensi yang berkaitan langsung dengan
bidang kerja.
Selain itu menurut Spencer dan Specer ada 2 kompetensi yang
berkaitan dengan bidang kerja, yakni Generic
competencies, merujuk pada kompetensi yang perlu ada pada semua pegawai
mengarah ke softskills, sikap mental dalam bekerja dan Functional competencies, merujuk pada
kompetensi khusus yang diperlukan bagi suatu fungsi atau pekerjaan tertentu
mengarah ke hardskills dan kemampuan teknis. Sedangkan di lapangan, kompetensi
tersebut terbagi atas kebutuhan kemampuan;
Knowledge : diukur melalui ujian
penilaian yang dilaksanakan oleh pihak berwenang
Skill : diukur dengan
mengikutsertakan ke dalam pelatihan-pelatihan tertentu dan
Attitude : diukur secara
lebih subjektif melalui penilaian terhadap perilaku yang ditunjukkan dalam
melaksanakan tugas.
Knowledge (melalui pendidikan), Skill (melalui pelatihan) dan
Attitude yg harus dimiliki oleh tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan dunia
usaha/dunia kerja dengan menggunakan konsep Link and Match.
Sedangkan ketrampilan softskill tenaga kerja, dalam perkembangannya banyak disumbang oleh karakter pribadi yang berasal dari didikan lingkungan keluarga (pola asuh), tradisi dan pengaruh lingkungan sekolah (sosial).
Di beberapa perusahaan, ketrampilan softskill yang dibutuhkan meliputi leadership, kreativitas, kominukasi, kejujuran dan fleksibel. Memang dalam prakteknya ketrampilan softskill dapat dilatih dan disiapkan, namun menurut pengalaman dari PT Charoen Pokphand Indonesia misalnya, perubahan-perubahan dalam organisasi termasuk budaya organisasi juga dapat menyumbang terhadap peningkatan softskill tenaga kerja. Pembinaan softskill yang baik, menurut pengalaman PT. Charoen dengan komunikasi asertif, yaitu komunikasi yang berdasar keterbukaan, jujur, tegas, langsung dan dengan cara yang sopan.
Sedangkan ketrampilan softskill tenaga kerja, dalam perkembangannya banyak disumbang oleh karakter pribadi yang berasal dari didikan lingkungan keluarga (pola asuh), tradisi dan pengaruh lingkungan sekolah (sosial).
Di beberapa perusahaan, ketrampilan softskill yang dibutuhkan meliputi leadership, kreativitas, kominukasi, kejujuran dan fleksibel. Memang dalam prakteknya ketrampilan softskill dapat dilatih dan disiapkan, namun menurut pengalaman dari PT Charoen Pokphand Indonesia misalnya, perubahan-perubahan dalam organisasi termasuk budaya organisasi juga dapat menyumbang terhadap peningkatan softskill tenaga kerja. Pembinaan softskill yang baik, menurut pengalaman PT. Charoen dengan komunikasi asertif, yaitu komunikasi yang berdasar keterbukaan, jujur, tegas, langsung dan dengan cara yang sopan.
Sumber :
http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/edisi-122-februari-2011/366-kebutuhan-soft-skill-di-dunia-kerja