Sudah bukan rahasia
lagi, penjara bukanlah tempat yang kondusif bagi pengguna narkoba. Dalam
artian, penjara bukan menjadi jawaban untuk membantu pecandu narkoba untuk
mencapai kesembuhan. Sudah menjadi rahasia umum pula, kalau pecandu narkoba
bisa “naik pangkat” ketika sudah pernah mencicipi dinginnya lantai penjara.
Awalnya hanya pengedar kemungkinan besar bisa menjadi bandar. Kondisi ini tentu
kontradiktif dengan tujuan awal pemidanaan bagi pecandu narkoba, memberi efek
jera. Alih-alih menjadi kapok, pecandu nakoba justru bisa menjadi rantai baru
bagi peredaran narkoba.
Dari Pengalaman saya
sebagai seorang pecandu Narkoba yang di penjarakan di Lapas Narkotika
Yogyakarta, dan ternyata di Dalam lapas Narkotika Yogyakarta, ada bisnis
Narkoba yang dijalankan Oleh Napi yang dilindungi Oleh KPLP dan Bimaswat,
dimana setiap napi jika ingin mendapatkan alat komunikasi secara resmi menurut
versi oknum petugas Lapas, harus membayar, Rp, 2,5 juta/ bulan alat komunikasi
yang di gunakan untuk transakasi narkoba, yang dimana alat komunikasi akan di
berikan pada jam 9 pagi dan di kembalikan kepada okmun petugas lapas jam 5 sore
setiap harinya seperti itu, bayangkan jika ada 10 orang napi yang menjalankan
bisnis tersebut penghasilan oknum petugas lapas narkotika setiap bulannya bisa
mencapai Rp. 25 juta . sedangkan setahu saya yang menjalan bisnis narkoba
tersebut tidak hanya 10 orang kurang lebih ada 35 orang.
Model Transaksi di Yogya
dan Jawa Tengah adalah dengan Sistem Transfer via E Bangking, dimana para
konsumen memesan Narkoba yang dibutuhkan dengan cara menghubungi operator yang
ada didalam Lapas, setelah konsumen mentransfer uang sesuai jumlah
pembeliannya, lalu si konsumen akan mendapatkan sms alamat dimana narkoba itu
ditaruh, biasanya para kurir yang menaruh dan membuat alamat adalah orang yang
berada di luar lapas Narkotika, sebagian besar kurir tersebut tidak mempunyai
pekerjaan, sehingga dia terpaksa mengambil pekerjaan tersebut, karena setiap
kurir mengirim narkoba pada salah satu alamat dia akan mendapatkan upah antara
Rp. 25.000 sampai Rp. 200.000, tergantung dari jumlah pemesanan konsumen.
Tidak usah jauh-jauh.
Tertangkapnya KALAPAS NUSAKAMBANGAN akibat tersandung kasus narkoba bisa
dijadikan parameter. Pihak yang seharusnsya menjadi pengawas agar bisa
menimalisir peredaran narkoba justru berbisnis narkoba. Tentu bisa dibayangkan
betapa kronisnya bisnis peredaran narkoba dalam penjara. Penjara bukan tempat
yang bersahabat bagi pecandu untuk mencapai kesembuhan. Sehingga, diperlukan
sistem terpadu yang lebih memiliki daya dukung bagi pecandu narkoba untuk
mengatasi ketergantungannya. Kenyataan ini menjadi bukti sahih bahwa ada
Hasil penelitian
terhadap napi narkoba di lapas dan Rumah Tahanan Negara, hasil kerja sama Bada
Pusat Statistik dengan Badan Narkotika Nasional tahun 2006 menemukan sebanyak
8,7 persen dari 1868 responden penghuni lapas pernah memakai narkoba. Artinya,
sebanyak 162 orang napi pernah memakai narkoba. Bayangkan berapa jumlah pemakai
narkoba dalam penjara jika di dibandingkan dengan jumlah napi sesungguhnya.
Namun hasil penelitian bisa saja berbeda dengan kenyatan yang ditemui di
lapangan. Bukan tidak mungkin pemakai narkoba di penjara persentasenya jauh
lebih besar. Bahkan 4,4 persen pernah melakukan transaksi narkoba dalam penjara
dan 9,5 persen responden mengaku pernah ditawari narkoba oleh sesama
narapidana.
Harus diakui kebanyakan
lembaga permasyarakatan di berbagai daerah di Indonesia sudah overload,
Banyaknya penghuni lapas. Transfer ilmu kejahatan menjadi lebih mudah
dilakukan. Apalagi untuk kasus narkoba. Peluang bertemunya bandar besar dengan
bandar kecil menjadi sangat besar. Belum lagi dengan pecandu yang sebelumnya
hanya berstatus pemakai. Bahkan, banyak pihak menyebutkan, bisnis narkoba di
luar penjara dikendalikan dari dalam penjara.
Kondisi ini diperparah
dengan minimnya fasilitas kesehatan di lapas. Banyak napi yang tidak mendapat
perawatan kesehatan semestinya akibatnya minimnya jumlah tenaga medis. Bahkan,
untuk mendapatkan perawatan kesehatan, sejumlah napi mengaku harus menyetorkan
sejumlah uang tertentu. Tidak heran, angka kematian napi di penjara semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Kematian ini, mayoritas, disebabkan napi
bersangkutan mengidap HIV positif atau penyakit bawaan. Sehingga ketika tidak
mendapat perawatan yang layak, kondisi kesehatannya semakin memburuk dan
berujung pada kematian.
Sehingga, untuk mencegah
semakin meluasnya peredaran narkoba dalam penjara, dibutuhkan mensejahterakan
para sipir secara ekonomi. Namun, sayang UU Narkotika No.35/2009. mempunayai 2
wajah dan tidak bisa menentukan, siapa yang bisa dikategorikan sebagai pengedar
dan siapa yang dikategorikan sebagai pecandu. meskipun sudah ada pasal
rehabilitasi bagi pecandu, namun jarang sekali bahkan hampir tidak ada pecandu
yang mendapatkan vonis rehabilitasi, kecuali pecandu tersebut dari kalangan
orang kaya, itupun masih harus dipenjarakan bukan di rehabilitasi meskipun hanya
4 bulan penjara. Dengan adanya pemilahan ini, maka penempatan tahanan juga bisa
diseleksi. Pengedar kelas kakap tentu harus dijauhkan dari tahanan lain.
Sedangkan pecandu biasa tentu harus diawasi lebih ketat agar tidak kembali
memakai narkoba. Begitu juga petugas lapas. Mereka yang bekerja di lapas harus
dipilih orang-orang yang memang punya komitmen tinggi untuk mencegah peredaran
dan pemakaian narkoba, idealnya.
Nantinya, lapas khusus
narkoba ini juga hendaknya dilengkapi dengan poliklinik untuk tahanan yang
berstatus Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Selain itu lapas narkoba ini juga
dilengkap dengan Voluntary Counseling and Test (VCT) atau tempat konseling tes
sukarela bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat.
Pembangunan poliklinik ini merupakan upaya untuk menekan angka kematian di
lapas akibat kasus HIV/AIDS yang diderita narapidana kasus narkoba.
Selain penyediaan
konseling HIV, poliklinik dalam lapas khusus narkoba juga hendaknya
mengupayakan harm reduction (pengurangan dampak buruk). Para napi itu dites
urinenya sehingga bisa digolongkan mana saja pengguna narkoba aktif. Mereka
yang kadar adiksinya rendah bisa mensubstitusi narkotika dengan metadhone.
Tingkat adiksi metadhone yang relatif rendah akan membuat napi bisa berperilaku
lebih produktif dan positif. Dengan demikian, pecandu bisa melakukan kegiatan
bermanfaat buat dirinya.
Tidak ada alternatif
lain untuk membantu napi narkoba untuk mengatasi ketergantungan terhadap
narkoba. Persoalan narkoba tidak bisa diselesaikan dengan metode represif
dengan menghukum pemakai narkoba dengan pidana penjara. Harus ada alternatif
lain. Sekarang, political will pemerintah mutlak diperlukan untuk memanusiakan
napi. Tidak hanya menjadikan pecandu sebagai komoditas atau obyek eksperimental
di dalam penjara. Jangan sampai penjara membuat napi khususnya pemakai narkoba
tersandera hak-haknya. Apalagi tergadaikan harga diri dan hak asasinya. Sebab,
napi juga manusia.
Sumber:
http://politik.kompasiana.com/2012/06/09/penjara-bukan-solusi/Sumber: